Antara Pikiran & Perasaan
Pernah dengar Nabi Dzulkarnain kan? Di kisahkan dalam surat Al Kahfi bahwa Nabi Dzulkarnain bertemu dengan suatu kaum yang bahasanya sulit dimengerti. Ada yang menggambarkan, untuk memahami apa yang disampaikan oleh kaum tersebut, diperlukan banyak penerjemah. Banyaknya penerjemah ini bukan sama-sama menerjemahkan bahasa kaum tersebut. Tapi penerjemahan berantai. Maksudnya begini. Penerjemah pertama menerjemahkan bahasa kaum tersebut kedalam bahasa A. Penerjemah kedua menerjemahkan dari bahasa A kedalam bahasa B. Penerjemah ketiga menerjemahkan dari bahasa B kedalam bahasa C. Terus demikian sampai akhirnya bisa difahami oleh Nabi Dzulkarnain.
Apa yang digambarkan dalam kisah Nabi Dzulkarnain, jangan-jangan
sebenarnya terjadi pada kita. Pada do’a-do’a
kita. Kenapa demikian? Ada makna yang kurang mengikat pada do’a yang
kita ucapkan. Ada rasa yang tidak
mendalam dari apa yang kita lantunkan.
Yang akhirnya kemukzijatan do’a yang kita dapatkan tidak seperti yang didapatkan
oleh para sahabat, tabiin, tabiit tabiin dan para ulama yang mulia. Kenapa hal demikian bisa terjadi?
Menurut penelitian DR Joe Dispenza yang dilakukan pada lebih
dari 6.000 orang terkait gelombang otak & gelombang energy, ketika kita
memikirkan sesuatu, otak kita akan menghasilkan muatan listrik dan ketika kita
merasakan sesuatu, perasaan kita akan menghasikan muatan magnetic. Apa yang kita pikirkan dan apa yang kita
rasakan akan menyebarkan electromagnetic yang akan berpengaruh dalam setiap
atom-atom yang ada dalam hidup kita. Jika
kita memikirkan hal-hal negative. Maka
setiap atom dalam kehidupan kita akan mendapatkan hal negative. Jika kita memikirkan hal-hal positif yang
kita inginkan terjadi dalam hidup kita, maka hal-hal positif itulah yang akan
terjadi (=Dalam bahasa DR Joe Dispenza
: membawa future ke present moment).
Dalam bahasan sebelumnya, telah kita bahas bahwa apa yang
kita pikirkan, kelak akan jadi kenyataan, menjadi nasib kita. Nah, para sahabat yang pemahamannya
sedemikian mendalam tentang do’a, tentang bahasa Arab yang kandungannya sangat
mendalam, sedemikian yakin bahwa do’a akan dikabulkan karena ini janji
Allah. Sehingga, ketika realitas di
sekitarnya belum mencerminkan pengabulan dari do’a yang dipanjatkan, tapi
keyakikan karena pemahaman akan dikabulkan membuat perasaannya merasa seolah
sudah memiliki apa yang dipinta.
Artinya, ini membawa future ke present moment, dan akan menarik
gelombang-gelombang positif dalam kehidupan.
Lalu apa hubungannya dengan kisah Nabi Dzulkarnain? Kita harus belajar makna dari do’a-do’a kita
agar mendapatkan “rasa” yang mendalam sehingga gelombang elektromagnetik dari
hasil pemikiran dan perasaan kita benar-benar powerfull membawa dampak
positif. Dan untuk mendapatkan hasil
yang powerfull seperti para sahabat, maka Pemikiran & Perasaan harus
selaras, seiring, seirama (=koheren).
Dan ini selaras banget dengan apa yang dijelaskan oleh Ustadz Taqiyudin
An Nabhani bahwa kepribadian itu terdiri dari Aqliyah (Pemikiran) & Nafshiyah
(Persaan). Kepribadian yang harus kita
bangun adalah yang selaras antara Aqliyah & Nafshiyah. Lalu apa isi dari dari yang kita pikirkan
& kita rasakan juga harus kita pilih.
Perjalanan & Pembahasan masih panjang. Tapi kita endapkan dulu tema ini yaa. Barakallaahu lanaa wa lakum. Aamiin
Komentar
Posting Komentar